PMII KOMUNIS

PMII KOMUNIS
Mundur Satu Langkah Adalah suatu bentuk penghianatan

Rabu, 27 Januari 2016

Curanmor dan Cerita Kampung Maling


Oleh : Heri Kiswanto
Ketua Rayon PMII Rona Galusia Koms. Unisma (Periode 2011-2012)
HP : 087859786626

Maraknya pencurian kendaraan bermotor (curanmor) di wilayah Malang dan sekitarnya. Tentu bukan hal baru. Motifnya bermacam-macam. Mulai dari kebutuhan hidup, faktor ekonomi hingga tuntutan rumah tangga. Faktor-faktor tersebut lah yang mendorong terjadinya kriminalitas semakin bertambah dan meresahkan.

Terwujudnya keamanan lingkungan, di dambakan oleh setiap orang yang tinggal dan menetap di kota pendidikan ini. Pasalnya, ditempat umum dan keramaian tak luput menjadi sasaran pelaku kejahatan yang mengincar pemilik kendaraan bermotor. Artinya diperlukan penanganan sigap dan intensif.

Menyikapi hal tersebut, penulis pernah membaca sebuah artikel atau opini di salah satu media cetak ternama tanah air yang berjudul, “Menangkap Maling di Kampung Maling”. Inti dari tulisan tersebut adalah, susahnya menangkap pencuri di kampung maling yang diisi oleh kebanyakan pencuri, perampok dan penodong. Yang letaknya, di sebelah kampung warga.

Dari artikel yang penulis pernah baca. Di kampung maling, pelaku pencurian begitu sulit ditangkap. Konon polisi pun tidak dapat menangkapnya. Belajar dari peristiwa itu, dapatkah Malang mempelopori keamanan dari mencegah pencurian kendaraan bermotor yang semakin marak, kian berkurang?

Pertanyaannya sekarang, apakah artikel yang penulis baca tersebut berhubungan. Yakni antara kampung maling dan keamanan di wilayah Malang?

Di suatu tempat di Malang, setelah mendengar cerita warga. Terdapat pula daerah dengan kejahatan curanmor tertinggi, tetapi tidak dilaporkan para korban, disebabkan berbagai alasan dan kurang alat bukti. Hal ini mengingatkan penulis, pada cerita kampung maling.

Di kampung tersebut diprediksi para korban kehilangan kendaraan roda dua dan empat begitu tinggi. Apalagi para pelaku tergolong profesional dalam melancarkan aksinya. Bahkan katanya, memiliki seorang informan (pemberi informasi) terpercaya. Ditambah lagi hal tak logis (kurang masuk akal), pelaku menggunakan kemampuan supranatural atau magis ketika mencuri.

Hal ini seharusnya dapat dicegah dengan langkah-langkah dan antisipasi melibatkan aparatur desa dan kepolisian. Disertai maksimalisasi fungsi sistem keamanan lingkungan (siskamling) harus diperbaiki. Kondisi ini setidaknya efektif mengantisipasi modus pencurian yang seringkali mengincar rumah atau tempat sepi dapat diterapkan maksimal.

Terutama sinergi antara aparat kepolisian dan petugas keamanan lingkungan di masyarakat sangat dibutuhkan dan saling berkoordinasi. Setidaknya kesiagaan menghadapi pelaku pencurian di sekitar kita, mampu terwujud. Demikian halnya mengatasi permasalahan keamanan melalui bantuan teknologi, kunci ganda kendaraan, maupun kamera pengawas dapat direncanakan dengan baik.

Namun, apakah ini dapat mengurangi, bahkan membuat jera pelaku pencurian (curanmor), agar tidak semakin bertambah. Jika iya, cukup dengan pencegahan yang dilakukan masyarakat sendiri, dan jika tidak perlu tindakan hukum, hingga penangkapan gembong pelaku curanmor.

Atau seperti tertulis dalam artikel kampung maling sedang atau benar terjadi saat ini, dan meresahkan pemilik kendaraan bermotor khususnya di Malang Raya.

Senin, 07 Desember 2015

Sejarah dan artinya "Wallahul Muwafiq Ila Aqwamith Thoriq"


Setelah saya ikut PMII, entah mengapa rasanya pengen ngepost hal yang satu ini. Kelihatannya sepele bukan? tapi yang namanya sejarah siapa yang tau.

artikel/tulisan yang ada di bawah ini adalah berita harlah PMII yang ke-46, yang saya ambil di website NU Online.

"Saat acara peringatan hari lahir (Harlah) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) ke-46 . Sejumlah tokoh nasional, Angkatan ’66 dan ratusan kader PMII hadir dalam acara yang digelar di Hotel Acacia, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Kamis (20/4).

Dalam sambutannya, Gus Dur menegaskan tentang komitmen keindonesiaan & kebangsaan dengan cara mengawal terus Indonesia dengan Islam ala Indonesia.

Setelah berbicara panjang lebar, dia bermaksud menutup pidato dengan ucapan "wabillahi taufiq wal hidayah", tapi tiba-tiba dia diam sejenak....

"saya kok mau salah menyampaikan salam penutup, harusnya kan yang khas NU" jelas cucu pendiri NU ini.

"dulu ulama-ulama NU, sepakat menggunakan wabillahi taufiq wal hidayah untuk ucapan penutup dan Nahdliyiin  wajib mengikuti. tapi setelah musim kampanye pemilu tahun 70-an, Golkar memakai ucapan itu untuk menutup setiap pidato kampanyenya." ungkap Ketua Dewan Syuro PKB ini

Nah setelah itu, lanjut Gus Dur, para ulama NU sepakat menggantinya dengan yang lain. muncul ide agar di ganti dengan "Wallahul Muwafiq ila aqwamith Thariq"  dari seorang Kiai kharismatik asal Magelang lalu dipakailah hingga kini.

"jadi Golkar minjem "wabillahi taufiq wal hidayah" dari NU dan belum dikembalikan hingga saat ini," kata Gus Dur yang diiringi gelak tawa hadirin, termasuk Slamet Effendi Yusuf yang hadir saat itu.

"untuk itu saya akhiri dengan wallahul Muwafiq ila aqwamith Thariq," ungkap Gus Dur menyudahi. (NU Online).


Mungkin kalian menganggap ini konyol, tapi menurut saya tulisan diatas  "sesuatu banget".
Ok, dan 1 lagi.. tidak tahu ini keawaman, ketidak tahuan, keteledoran entah kesengajaan sering kita mendengar ucapan "illa awamith Thariq" BUKAN "ila".

kita mungkin masih awam, tapi kita tak harus terjerumus terlalu dalam oleh keawaman kita bukan? Memang itu suatu hal sepele, tapi ingat Se-Sepele apapun itu hati-hati lho, ntar kalo jadi Sepuluh.


Kalo dari segi pandang arti kata:

ila = ke / menuju

illa = kecuali


sedang, kalo kita terus-terusan mengucap ataupun menulis "illa awamith Thariq" itu sama hal-nya kita mengucap bahkan mungkin bisa diartikan berdo'a "Kecuali jalan yang lurus" [ Teriak dan katakan OH NOo..!!! ].

jadi arti kalimat wallahul Muwafiq ila aqwamith Thariq ialah "Semoga Allah menuntun kita ke jalan yang paling lurus [ISLAM]". and finally, Alhamdulillah.. kita tahu itu.


Kamis, 03 Desember 2015

Fundamentalisme Dalam Islam : Akar Historis


Abad ke-20 atau tepatnya sejak abad ke- 19 merupakan fase ketiga dari rentang perjalanan muslim, yakni fase kebangkitan kembali ummat Islam. Pada fase ini muncul beberapa tokoh muslim yang berusaha memberi penegasan kembali terhadap ajaran-ajaran Islam di tengah-tengah budaya dan peradaban modern (global) . Dalam mencapai tujuan ini mereka mengarah kepada dua jalan yang berbeda yaitu Revivalisme-Konsevatif (dalam konteks politik disebut sebagai Fundamentalisme) yang menutup mata dari kelebihan peradaban Barat dan Reformasi – Radikalisme terhadap ajaran Islam-historis dengan mengadopsi beberapa metode Barat. Abad ke-20 atau tepatnya sejak abad ke- 19 merupakan fase ketiga dari rentang perjalanan muslim, yakni fase kebangkitan kembali ummat Islam. Pada fase ini muncul beberapa tokoh muslim yang berusaha memberi penegasan kembali terhadap ajaran-ajaran Islam di tengah-tengah budaya dan peradaban modern (global) . Dalam mencapai tujuan ini mereka mengarah kepada dua jalan yang berbeda yaitu Revivalisme-Konsevatif (dalam konteks politik disebut sebagai Fundamentalisme) yang menutup mata dari kelebihan peradaban Barat dan Reformasi – Radikalisme terhadap ajaran Islam-historis dengan mengadopsi beberapa metode Barat. Dalam konteks yang terakhir ini, dapat dicatat beberapa ilmuwan muslim yang masih terlibat secara intens dalam menggulirkan ide-idenya, seperti Hasan Hanafi dari Mesir yang kental dengan Kalam “Antroposentrisme” Arkoun dari Aljazair yang kental dengan proyek “Islamologi Terapan” yang memanfaatkan teori-teori ilmu sosial dan humaniora modern (terutama sejarah, antropologi, dan linguistik) serta Abdullah Ahmed an Na’im dari Sudan yang menawarkan model “ Syari’ah Modern”. Ketiganya mencoba mengaktualkan kembali teks-teks keagamaan yang selama berabad-abad memfosil dalam tradisi pemikiran ulama periode klasik dan periode pertengahan. Makalah sederhana ini sesungguhnya mencoba untuk memetakan kembali diskursus yang berkembang di kalangan para modernis dan penentangnya (kelompok Tradisionalis-Ortodoks). Dalam pandangan kelompok tradisonalis – ortodoks teks-teks keagamaan itu dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Tuhan telah mengkomunikasikan kehendakNya kepada manusia melalui para Nabi. Oleh karena itu Dia memakai bahasa yang dapat dimengerti oleh manusia, dan mengartikulasikan kalimat-kalimatNya dalam susunan sintaksis, retorika, dan kosa-kataNya sendiri. Tugas para Nabi seperti Musa, Isa dan Muhammad SAW hanyalah menyampaikan sebuah wacana yang diwahyukan kepada mereka sebagai bagian dari ucapan-ucapanNya yang tidak diciptakan, tidak terbatas dan co-eternal. b. Tradisi ini menegaskan peran malaikat Jibril sebagai instrumen perantara (Mediasi) antara Tuhan dengan Nabi Muhammad SAW. c. Wahyu yang termaktub dalam Al Qur’an adalah wahyu yang paling akhir melengkapi wahyu-wahyu sebelumnya yang diturunkan kepada Musa, Isa dan mengoreksi teks-teks dalam Taurat dan Injil d. Wahyu yang dimanifestasikan dalam al Qur’an memenuhi kebutuhan orang-orang beriman akan tetapi tidak mengungkapkan seluruh kata-kata Tuhan sebagaimana tercantum dalam Kitab Langit (Lauh al Mahfudz) e. Konsep tentang Kitab Langit yang sangat kuat ditekankan dalam al Qur’an, adalah salah satu simbol primordial dari angan-angan keagamaan yang umum terdapat dalam masyarakat Timur Tengah Kuno. f. Pengumpulan al Qur’an ke dalam suatu bentuk fisik, yang biasa disebut mushaf yang seluruhnya terkondisikan oleh prosedur-prosedur manusiawi yang tidak sempurna tidak menghalangi elaborasi teori tentang ucapan Tuhan yang tidak diciptakan. Wahyu lengkap yang tercantum dalam al Qur’an, berakibat pada akses manusia yang langsung dan otentik terhadap ungkapan-ungkapan Ilahiyah yang bersifat Transendental Dari pernyataan di atas dapat dikategorisasikan adanya dua level wahyu: Pertama, Level kata-kata Tuhan yang dihubungkan dengan Kitab Langit yang menjamin otentisitas dan Transendensi kitab yang ada di Lauh al Mahfuz, Kedua, adalah level literatur-literatur sains Islam yang dihasilkan oleh generasi-generasi penerus ulama. Dalam bahasa yang agak berbeda Arkoun menyebut bahwa wahyu dalam level pertama biasa disebut dengan Tradisi/Turats (dengan T besar) dan level kedua dengan sebutan tradisi/turats (dengan t kecil). Wahyu pada level pertama selalu difahami dan dipersepsi sebagai tradisi yang ideal, yang datang dari Tuhan dan tidak dapat diubah-ubah oleh kejadian historis. Tradisi semacam ini adalah abadi dan absolut. Sehingga tidak ada ruang bagi manusia untuk merubahnya dalam tradisi kehidupan sehari-hari. Sementara tradisi kedua dibentuk oleh sejarah dan budaya manusia, baik yang merupakan warisan turun temurun sepanjang sejarah kehidupan , atau penafsiran manusia atas wahyu Tuhan lewat teks-teks kitab suci. Membaca turats adalah membaca teks, seluruh jenis teks. Peradaban Muslim adalah perdaban teks, sehingga perlu ada pembongkaran-poembongkaran sejauh menyangkut metodologi-epistemologi maupun menyangkut materi perdaban yang dihasilkannya. Karena turats tersebut dibentuk dan dibakukan dalam sejarah, ia-pun harus dibaca melalui kerangka sejarah, inilah historisisme. Menurut Arkoun, salah satu tujuan membaca teks, teks suci khususnya, adalah untuk mengapresiasi teks tersebut di tengah-tengah perubahan yang terus terjadi. Dengan kata lain ajaran-ajaran agama yang berasal dari teks suci tersebut harus selalu sesuai dan tidak bertentangan dengan segala keadaan. Untuk itu, umat Islam perlu melakukan reaktualisasi dan reinterpretasi ajaran-ajara Islam, sehingga Islam dapat kembali memerankan peran rasional dan empirisnya. Langkah-langkah yang bisa ditempuh dalam upaya tersebut antara lain dengan: Pertama, perlunya dikembangkan penafsiran sosial-struktural lebih daripada penafsiran individual ketika memahami ketentuan-ketentuan tertentu di dalam al Aqur’an. Kedua, mengubah cara berfikir subyektif ke cara berfikir obyektif.Tujuan dilakukannya reorientasi berfikir secara obyektif ini adalah untuk menyuguhkan Islam pada cita-cita Obyektif Ketiga, mengubah Islam yang normatif menjadi teoritis. Selama ini al Qur’an sering ditafsirkan secara normatif dan kurang memperhatikan adanya kemungkinan untuk mengembangkan norma-norma itu menjadi kerngka-kerangka teori keilmuan. Keempat, mengubah pemahaman yang ahistoris menjadi historis. Selama ini pemahmaan kita mengenai kisah-kisah yang ada dalam al qur’an cenderug sangat bersifat ahistoris, padahal maksud al qur’an menceritakan kisah-kiasah itu adalah justru agar kita berfikir historis. Kelima, merumuskan formulasi-formulasi wahyu yang bersifat umum menjadi formulasi-formulasi yang bersifat spesifik dan empiris. Bagi kalangan modernis/posmo - upaya tersebut di atas akan sulit terlaksana jika masayarakat tidak melakukan upaya demitologisasi, demistikisasi dan deideologisasi bangunan-bangunan pemikiran masa lampau. Jika Arkoun menawarkan Analisa Historis, Analisa Antropologis dan Analisa Epistemologis, Abdullah Ahmed an Na’im menawarkan pendekatan Historis – Kritis dan Komparatif lewat metodologi Evolutif dari prinsip Nasikh mansukh terhadap tradisi/turats. Sementara Hasan Hanafi mengusung proyek “Kiri Islam” untuk membenahi kondisi ummat islam yang terbelakang dari berbagi segi itu. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa Kiri Islam bertopang pada tiga pilar dalam rangka mewujudkan kebangkitan Islam . Pilar pertama adalah revitalisasi khasanah Islam Klasik, dengan pendekatan rasionalisme yang diarahkan pada problem-problem kekinian dan kedisinian. Pilar kedua adalah perlunya menentang peradaban Barat, dengan cara menggiatkan kajian-kajian di sekitar persoalan Oksidentalisme sebagai lawan dari kegaitan Orientalisme. Dan Pilar ketiga adalah analisis atas realitas dunia, beliau mengkritik metode tradisional yang bertumpu pada teks dan mengusulkan suatu metode tertentu dalam melihat realitas dunia kontemporer. Berbeda dengan para tokoh pos-mo lainnya Hanafi menyikapi berbeda terhadap tradisi keagamaan masa lampau. Tradisi (turats) baginya adalah elemen-elemen budaya , kesadaran berfikir, serta potensi yang hidup, dan masih terpendam dalm tanggungjawab generasi sesudahnya. Dia adalah sebagai dasar argumentatif dan sebagai pembentuk “pandangan dunia” serta membimbing perilaku bagi setiap generasi mendatang. Selama ini tradisi / turats telah dicemari dan terhegemoni oleh feodalisme dan menjadi kekuatan kekuasaan yang berkedok agama, sehingga perlu direvitalisasi menjadi kekuatan yang membebaskan. Arkoun, Hanafi dan an Na’im serta tokoh-tokoh pembaharu lainnya, sepakat untuk melakukan dekonstruksi (yang ide dasarnya dipinjam dari Jaqcues Derrida) dan rekonstruksi terhadap tradisi keilmuan Islam klasik. Dekonstruksi-Rekonstruksi itu diterapkan ke dalam teks-teks keagamaan dan ideologi melalui pemisahan hubungan monolinier antara teks dengan tafsirannya. Keyakinan bahwa ada hubungan final antara suatu teks dengan tafsir tertentu, harus dibongkar !, karena keyakinan semacam itu akan menimbulkan berbagai dampak negatif, pertama, Fanatisme terhadap tafsir tertentu serta menolak keabsahan tafsir lain, kedua, akan menutup kemungkinan terbukanya teks terhadap berbagai penafsiran. Dengan tertutupnya keragaman tafsiran itu, maka sebuah teks akan mengalami semacam “Taqdis al afkar ad diniyyah”. Ketiga, suatu teks yang telah dibungkam melalui peresmian satu tafsir saja, akan menyebabkan teks itu tidak akan bermakna lagi dalam menghadapi derasnya perubahan sosial pada zaman modern sekarang ini. Oleh karena itu dekonstruksi ditujukan pada aras konsep-konsep keagamaan “yang terpikirkan” (thinkable) “yang tak terpikirkan”(unthinkable) dan “yang belum terpikirkan”(Not yet though) Ide-ide pembaharuan teks-teks keagamaan baik teks Kitab Suci maupun teks tafsirannya, bukannya sepi dari gugatan. Kelompok tradisionalis-revivalis mempertanyakan orsinilitas- validitas – dan otoritas metodologi dan epistemologi yang diusung para pembaharu itu. Dalam pandangan mereka ide pembaharuan itu pastilah didasarkan pada metode Hermeneutik yang gagasan utamanya adalah mengajak orang untuk meragukan kebenaran nilai-nilai lama dan kemudian mendekonstruksikan nilai-nilai itu dengan mempertimbangkan perubahan-perubahan sosial yang terjadi di tengah-tengah masayrakat. Dari sisi epistemologi, hermeneutika bersumber dari akal semata-mata, oleh karenanya metode tersebut sangat kental dengan nuansa Dhann (dugaan) Syak (keraguan) dan Mira’ (asumsi). Sedangkan dalam metode tafsir-nya para ulama mufasirin- sumber epistemologinya adalah wahyu al qur’an. Karena itu, tafsir terikat dengan apa yang telah disampaikan dan diterangkan serta dijelaskan oleh Rasulullah SAW. Rasulullah SAW menyampaikan, menerangkan dan menjelaskan isi al Qur’an. Jika ada di antara para shahabat yang berselisih atau tidak mengerti mengenai kandungan ayat al Qur’an mereka merujuk langsung kepada Rasulullah SAW, akal tidak dibiarkan lepas tanpa kendali melanglang buana, sebagaimana yang terjadi di dalam metode hermenutika. Akal yang liberal tanpa ikatan, akan dengan mudah menyalahtafsirkan ayat-ayat al Qur’an. Setelah Rasulullah saw wafat, para sahabat menafsirkan ayat al Qur’an dengan hati-hati.