Malam ini langit cerah menampakkan wajah rembulan yang pasi.
Seperti negeri yang ku huni ini, tampak pasi. Bangsa ini bukannya miskin, hanya
jiwa penghuninya saja yang kerdil. Negara ini tidaklah buruk, cuma rakyatnya
saja yang mabuk. Mabuk akan suatu hal yang dicintai semua setan beserta
penghuni jahannam.
Aku tak mengerti akan jalan pikiran mereka. Berlomba-lomba
memperebutkan kuasa yang nantinya di hina-hina bangsa sendiri. Bila hanya harta
tujuan mereka, kenapa tak rebut saja tambang emas milik Indonesia di Papua
sana? Tak ada gunanya menaikkan harga-harga bila kekayaan kita saja di jarah
mereka yang tak berhak.
Kenapa semua orang sibuk mengkritisi kebijakan-kebijakan yang
sudah jelas untuk membangun negeri. Toh, sang pembuat kebijakan tak bijak
mengelola sumber daya bangsanya. Lantas, tujuan adanya pemimpin bangsa, untuk
apa? Kesejahteraan rakyat? Think again.
Sejak di bangku Sekolah Dasar aku di ajarkan oleh guruku,
bahwa Indonesia adalah Negara demokrasi yang kepemimpinanya “dari rakyat oleh
rakyat dan untuk rakyat”. Tapi hingga kini, saat aku sudah menjadi mahasiswa
semester akhir di sebuah Perguruan Tinggi Swasta, aku juga belum memahami
esensi dari demokrasi itu. Entah aku yang bodoh, atau guruku yang gagal
memperkenalkan demokrasi negri yang sesungguhnya. Semua pelajaran saat di
bangku sekolah, sejarah bangsa, kegigihan pahlawan negeri hingga keuletan
rakyat di Negara ini seperti sebuah cerita pengantar tidur bagiku. Cerita yang
hanya akan membawa pada sebuah mimpi indah akan negeri subur nan makmur.
Negeri ini memang negeri yang subur. Tapi apa rakyatnya
makmur? Bangsa ini bukan bangsa yang miskin. Namun mengapa subsidi untuk
masyarakat kecil juga diperkecil? Mungkin benar bila kemudian muncul sebuah
kalimat “yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin”. Lagi-lagi, bila rupiah
yang mereka cari, kenapa tak eksploitasi tambang intannya saja? Kenapa tak
berburu minyak bumi saja? Kenapa memilih menjadi pemimpin bangsa?
Aaahh, pekik jangkrik malam ini seperti serdadu siap tempur.
Irama lagu yang mereka mainkan seperti nada genderang perang. Tapi mereka
tenang. Hanya aku dan pikirku yang mengelana. Mencari tempat tenang yang bisa
kusebut rumah.
Entah, mengapa terbesit akan carut-marut bangsa. Toh, mereka
yang disana tak akan bertanya akan pendapatku, rakyat jelata yang hidup dalam
kepura-puraan belaka. Entah, sampai kapan derita bangsa mencari makna “Indonesia
merdeka” yang hilang bersama keserakahan belaka.
Indonesia, mungkin kau lebih baik terjajah, daripada merdeka
namun bangsamu tak tau siapa musuh mereka sebenarnya.
Malang,
BK-04122014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar