PMII KOMUNIS

PMII KOMUNIS
Mundur Satu Langkah Adalah suatu bentuk penghianatan

Selasa, 20 Desember 2011

ASWAJA (SEBAGAI) TEOLOGI PEMBEBASAN


“...bimbingalah umat dengan baik, dan jika mereka
tidak mau mengikutimu, janganlah bertengkar dengan mereka.
Sebab jika kamu lakukan itu, kamu sama seperti membangun istana
dengan menghancurkan seluruh kota...” KH. Hasyim Asy’ari (1871-1947

I.       Aswaja, Warisan Intelektual dan Perjuangan
Tragedi meninggalnya Ngarso Dhalem Nabi Muhammad Saw pada 12 Juni 632 M melahirkan suatu perjuangan keagamaan dan politik yang sangat kental. Polemik perbedaan pendapat yang semula bersifat politis—suksesi kekuasaan pasca meninggalnya Nabi Saw—beralih ke persoalan-persoalan teologis, yakni munculnya berbagai aliran dalam Islam. Di samping itu faktor sosiologis berperan penting dalam memperuncing terjadinya polarisasi aliran-aliran teologi yang semakin bermunculan, tanpa kecuali Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah (Aswaja) yang secara de yure lahir pada abad ke-3 Hijriyah. Kenyataan tersebut yang pada gilirannya menjadi teka-teki besar dalam sejarah perkembangan—bukan hanya teologi, tapi juga—pemikiran dan intelektualitas dalam dunia Islam[1].
Membincang akidah Aswaja, berarti kita harus sowan kepada beberapa pelopor dari paham ini, yakni: Imam Abu Hasan al-Asy’ari (w. 324 H) dan Imam Abu Mansur al-Maturidi (w. 333 H). Pada estafeta sejarah berikutnya paham ini diteruskan oleh beberapa nama, seperti: Abu Bakar Al-Qaffal (w. 365 H), Hafizh Al-Baihaqi (w. 458 H), al-Juwaini (w. 460 H), Al-Ghazali (w. 505 H) dan Fakhruddin Al-Razi (w. 606 H). Imam al-Asy’ari sebelumnya adalah penganut Mu’tazilah selama 40 tahun, namun karena paham ini dianggap terlalu liberal dan setelah ”mengalahkan” gurunya, Abu Ali al-Jubba’i, berdebat tentang teologi, maka Imam Asy’ari mendirikan paham Asy’ariyah yang nantinya disempurnakan oleh Imam Maturidi dan beberapa genarasi sesudahnya menjadi Aswaja sampai KH Hasyim Asy’ari[2]. Dengan demikian, dialektika pemikiran Imam al-Asy’ari untuk melawan doktrin Mu’tazilah Qadariyah, Jabariyah dan Nasrani adalah sebuah usaha besar yang harus terus diapresiasi dan selalu diperjuangkan eksistensinya oleh generasi penerus. Bagaimana caranya? Mudah saja, cukup menginstall dialektika Imam Asy’ari serta menggunakan ”bakiak kultural” KH Hasyim Asy’ari—bakiak adalah akronim dari baq(a’) dan yaq(in). Sebab, Islam tersebar ke bumi Indonesia dan masih awet sampai sekarang karena dakwah Islamiyah sebagaimana dicontohkan Walisongo bersinergi dengan budaya, adat dan tradisi Jawa kala itu. Dengan demikia Aswaja bukan semata-mata merupakan paham akidah atau aliran keagamaan, tapi ia juga suatu gerakan (harakah) kemanusiaan yang terus menjunjung tradisi Nabi Saw, para sahabat, tabi’in dan ulama dengan menjaga as-sunnah dan menjunjung al-jama’ah, yakni persatuan dengan berpegang teguh pada al-Qur’an, al-Hadits, Ijma’ (konsensus), Qiyas (silogisme) serta mengikuti salah satu dari empat madzhab fiqh (madzahib al-arba’ah)—Maliki, Hambali, Syafi’i dan Hanafi.
Secara garis besar peta pemikiran Aswaja bertolak dari empat landasan di atas, sebab keempat pijakan tersebut bukan hanya sumber kebenaran dan kebaikan, tapi juga sumber ilmu pengetahuan dan peradaban, bahkan seluruh ulama yang mengibarkan bendera Aswaja adalah para ilmuwan, teolog, sufi, faylasuf, dokter, matematikawan, fisikawan, sastrawan, sejarawan, ahli kimia, sosiolog, astronom, politisi, musikus dan ahli tatanegara. Dengan demikian, jelaslah bahwa ideologi Aswaja tentu saja tidak serta merta harus dipahami ansich sebagai doktrin teologi dan akidah belaka. Islam pun sebenarnya juga bukan cuma agama (al-din) yang berisi akidah dan syari’ah, lebih dari itu Islam adalah cakrawala pemikiran dan mercusuar ilmu pengetahuan (al’ilm), Islam juga merupakan sistem sosial kemasyarakatan (al-mu’amalat) dan yang terakhir Islam memiki agenda besar dan cita-cita luhur humanisme, yakni rahmatan li al-’alamin. Inilah warisan terbesar dari an-Nabi Saw, para sahabat, tabi’in, auliya’ dan ulama yang harus kita perjuangkan sampai jasad berkalang tanah, insya Allah. Bukankah dunia hanya akan menertawakan kita bangsa Indonesia kalau kita hanya menjadi ”pemenang” dengan mengalahkan saudara-saudara kita sendiri? Inilah yang sejatinya telah dirintis oleh Nabi Muhammad Saw ketika beliau mendirikan negara Madinah (bukan negara Islam!) yang dulunya bernama Yatsrib.
Kota ini adalah tempat di mana banyak agama seperti Islam, Yahudi, Nasrani dan Paganisme, banyak kultur, bahasa, etnis dan keragaman suku seperti: Quraisy, ’Aus, Khazraj, Bani Qaynuqa’, Nadzir  serta kaum Anshar-Muhajirin yang hidup beriringan. Melihat realitas itu, Nabi Saw berpidato di depan khalayak mengeluarkan 16 poin kesepakatan bernama al-Wa’du al-Madinah alias Piagam Madinah[3]. Piagam sakti ini memuat segala kesepakatan yang fair, toleran dan menjunjung-tinggi kemanusiaan serta memberi ruang bagi kebebasan agama, politik dan ekonomi masing-masing suku, menjamin kebebasan HAM (human rights) seperti: hak hidup bermasyarakat, mengekspresikan adat-istiadat, perbedaan etnis dan geografis, hak kepemilikan harta, saling melindungi dan menjamin seluruh hak asasi dalam satu wadah, yakni negara Madinah al-Munawwarah[4]. Inilah pribadi dan karakteristik Aswaja yang dicontohkan Nabi Saw, yakni dakwah yang toleran, tidak memaksa apalagi radikal, anti kekerasan dan berjejaring sosial (social networking) dengan mengedepankan idealisme moral—rahmatan li al-’alamin. Dengan kata lain, teologi Aswaja adalah teologi pembebasan dan inklusif.

II.    Teologi Pembebesan—Hassan Hanafi dan Asghar Ali
a. Munculnya Teologi Pembebasan
Teologi Pembebasan ibarat dua sisi uang logam yang tak dapat dipisah, terutama saat dunia Islam mengalami berbagai quantum di hampir segala aspeknya. Teologi itu sendiri berasal dari theos yang berarti Tuhan dan logos yang berarti ilmu. Teologi adalah ilmu yang mempelajari tentang Tuhan dan hubungannya dengan manusia dan alam semesta. Sedangkan kata pembebasan (taharrur, liberation) merupakan istilah yang muncul sebagai reaksi atas istilah pembangunan yang kemudian menjadi ideologi ekonomi liberal dan kapitalistik dan umum digunakan di negara dunia ketiga sejak tahun 60-an. Di kawasan Amerika Latin misalnya, teologi pembebasan menjadi respon atas kondisi sosial, ekonomi dan politik dengan melakukan industrialisasi di bawah arahan modal multinasional, meski nantinya, karena mementingkan pertumbuhan ekonomi, industrialisasi telah menciptakan kesenjangan sosial yang begitu tajam.
Teologi Pembebasan (pada mulanya) merupakan gerakan yang dilakukan oleh para Romo, Uskup, dan bagian-bagian lain gereja sejak awal tahun 60-an. Gustavo Gutierrez (Peru) adalah orang pertama yang merangkum paham Teologi Pembebasan secara tertulis lewat bukunya, Teologia de la Liberacion. Tokoh setelah Gustavo, Juan Louise Segundo (Uruguay), Hugo Asmann (Brazil) dan John Sabrino (El-Salvador), adalah pastor yang relatif punya otoritas dan profesional secara akademis. Karena itu Teologi Pembebasan menjadi mainstream dan paradigma yang khas Amerika Latin[5]. Sebab, pemahaman Teologi Barat (Eropa) yang bersifat transendental dan rasional, yang berkutat dalam upaya memahami Tuhan dan iman secara rasional, menurut para uskup Amerika Latin menimbulkan kemandekan berpikir, bertindak, dan menjauhkan gereja dari masalah-masalah kongkret. Teologi Barat hanya sibuk mengkhotbahkan ajaran Yesus sejauh menyangkut hidup pribadi, mengimbau orang agar bertahan dan sabar menghadapi penderitaan, menghibur kaum miskin dan tertindas dengan iming-iming surga setelah kematian. Menurut mereka, gereja harus secara nyata melibatkan diri dan berpihak pada rakyat yang tak berdaya. Agama dan teologi, lanjut mereka, tak boleh meninabobokan umat beriman, melainkan harus memberikan dorongan kepada rakyat untuk melakukan perubahan. Rakyat harus disadarkan bahwa penderitaan, kemiskinan, dan keterbelakangan bukan nasib turunan, melainkan buah dari struktur sosial-ekonomi-politik yang berlaku.
Kesadaran tentang keperluan teologi serupa, rupanya juga muncul di kalangan umat Islam. Kita bisa menyebut, misalnya Ziaul Haque (Pakistan), dengan karyanya “Revelation and Revolution in Islam” (Wahyu dan Revolusi dalam Islam), Ali Syari’ati (Iran) yang dianggap sebagai ideolog revolusi Iran, Hassan Hanafi (Mesir) yang terkenal dengan gagasan al-Yasar al-Islami (Kiri Islam) dan harus pula disebut nama Asghar Ali Engineer (India) yang akan kita bahas pemikirannya tentang Teologi Pembebasan. Dua nama terakhir akan sedikit kita jelajahi outline pemikirannya.

b. Asghar Ali dan Teologi Pembebasan
Dari kacamata Asghar Ali, Islam datang dengan semangat pembebasan, akan tetapi sepeninggal Nabi Muhamad, Islam kehilangan elan vitalnya. Salah satunya terlihat dalam konsep teologinya. Teologi Islam yang pada awalnya dekat dengan keadilan sosial dan ekonomi, mulai beralih ke masalah-masalah eskatologi dan masalah yang bersifat duniawi. Teologi Islam kemuddian berkembang dengan metode skolastik dan spekulatif[6]. Ini dimulai pada zaman Muawiyah, teologi Islam mulai bergulat dengan masalah kehendak bebas vis a vis ketundukan pada takdir. Teologi Islam kemudian menjadi sebatas Ilmu Kalam yang skolastik dan spekulatif. Tema kehendak bebas dan ketundukan pada takdir, menjadi dominan terkait dengan upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul akibat persoalan politik. Kekacauan politik yang melanda umat Islam menimbulkan pertanyaan tentang dosa besar, mukmin dan kafir. Inilah yang ingin diselesaikan secara intelektual oleh Teologi Islam saat itu.
Asghar juga menilai, Islam yang dekat dengan penguasa ini kemudian kehilangan aspek pembebasan. Dari konteks inilah, maka Teologi Islam semakin jauh dari perhatian kepada masyarakat lemah. Teologi Islam hanya berbicara tentang keesaan Tuhan, Sifat-sifat Tuhan, ketidakmungkinan adanya Tuhan selain Allah, tentang polemik kehendak bebas dan takdir, dan masalah-masalah eskatologis. Teologi Islam tidak lagi berbicara tentang bagaimana membantu fakir-miskin, memelihara anak yatim, bersikap kritis terhadap kekuasaan, membebaskan budak dan orang tertindas, mempromosikan kesetaraan jender, dan tema-tema pembebasan lainnya.
Asghar Ali melihat Islam sebagai agama yang mengandung semangat pembebasan. Oleh karena itu, Asghar mencoba untuk merevitalisasi nilai-nilai pembebasan Islam dan merumuskan Islam sebagai Teologi Pembebasan yang didasarkan pada dua hal. Pertama, analisis historis pembebasan yang pernah dilakukan Nabi Muhamad Saw yang lahir untuk melakukan proses pembebasan manusia dari penindasan dan ketidakadilan. Struktur masyarakat Arab di mana Nabi Muhamad lahir waktu itu mencerminkan ketimpangan sosial. Ajaran Nabi Muhamad, ditolak semata-mata bukan karena ajarannya untuk menyembah Allah, tapi karena implikasi sosialnya yang akan secara radikal merubah tatanan yang tidak adil itu. Selain itu, dalam sejarah, Nabi juga telah melakukan upaya-upaya radikal untuk memberi posisi yang layak pada perempuan, setelah sebelumnya posisi perempuan dalam budaya waktu itu  berada pada tempat yang sangat rendah.
Kedua, dari banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an yang secara eksplisit mendorong proses pembebasan seperti Ayat tentang pemerdekaan budak, kesetaraan umat manusia, kesetaraan jender, kecaman atas eksploitasi dan ketidakadilan ekonomi, dan lain sebagainya. Sebagian ayat perlu ditafsir ulang karena penafsiran yang ada saat ini terhadap sebagian ayat itu, menurut Asghar tidak sesuai lagi dengan semangat pembebasan awal, semisal ayat-ayat tentang keadilan jender.
Dalam pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an ini Asghar menggunakan pendekatan sosio-historis sebagaimana double movement-nya Fazlur Rahman. Asghar mencoba kembali ke masa lalu di mana ayat-ayat itu turun, mengambil esesnsi dasar dari maksud ayat itu, kemudian dikontekstualisasikan pada problem-problem kontemporer. Dari dua hal inilah Asghar ingin menggali Teologi Pembebasan dari nilai-nilai Islam. Berbeda dengan Gustavo Guiterez yang tinggal menuliskan apa yang baru terjadi, Asghar mencoba merekonstruksi kembali apa yang terjadi, terutama, pada praksis pembebasan yang dilakukan Nabi Muhamad empat belas abad yang lalu. Dengan tegas Asghar menyatakan bahwa cara Nabi Saw ini menunjukkan bahwa harkat martabat manusia melampaui batas-batas etnis, suku, warna kulit, merdeka atau hamba sahaya[7] sebagaimana tertulis dalam QS. al-Hujurat:13.
Selain kritik dan upaya "pembebasannya" dalam bidang teologi, jender, HAM, hak politik, kemanusiaan dan moral, yang tak kalah penting adalah dalam bidang ekonomi. Ketidakadilan ekonomi adalah persoalan yang paling banyak disinggung olehnya. Dalam al-Qur’an, kata kunci keadilan adalah ‘adl dan qist. Ádl dalam bahasa Arab mengandanung arti sawiyyah atau persamaan/kesetaraan. Kata itu juga mengandung arti pemerataan dan kesamaan. Sedangkan qist mengandung arti distribusi, jarak yang merata, kejujuran dan kewajaran. Dengan konsep ini, maka yang diinginkan oleh Al-qur’an adalah pemerataan kekayaan. Oleh karena itu Islam melarang konsentrasi harta pada pihak-pihak tertentu. Dan menentang bermewah-mewahan dengan harta, sementara pada saat yang sama banyak orang lain yang membutuhkan. Konsentrasi ini dalam konteks saat ini bisa pada diri perseorangan atau kelompok dalam satu wilayah atau Negara, bahkan bisa lintas Negara. Polaritas antara Negara Utara dan Negara Selatan di mana kebanyakan negara berpenduduk Islam berada di situ, adalah juga bentuk konsentrasi kekayaan. Negara Utara, terutama G-8, mewakili negara dengan kekayaan berlimpah sedangkan Negara Selatan mewakili Negara dunia ketiga yang miskin.
Satu praktik ekonomi yang saat itu sangat dikecam adalah praktik riba yang banyak ditafsirkan sebagai bunga. Dalam konteks kehidupan modern, riba selalu dikonotasikan dengan dunia perbankan dan praktik rentenir. Asghar tidak setuju dengan penafsiran ini. Menurutnya riba tidak sekedar bunga bank. Riba kebih dari sekedar bank. Oleh karena itu, menghilangkan bunga bank tidak akan berpengaruh banyak terhadap praktek riba. Menurut Asghar, riba adalah praktik eksploitasi ekonomi yang harus dipahami dalam konteks sistem ekonomi kapitalistik sekarang ini. Maka, kemunculan bank-bank tanpa bunga tidak mempengaruhi eksploitasi ekonomi tersebut. Asghar lalu menunjuk pada struktur ekonomi yang timpang antara Negara Utara dan Negara Selatan, aturan-aturan perdagangan seperti WTO, atau aturan bantuan oleh World Bank dan IMF yang menciptakan ketergatungan negara miskin dan menguntungkan Negara kaya. Selain itu Asghar juga menunjuk dominasi Multinational Corporation (MNC) dan Transnational Corporation (TNC) yang banyak mengeksploitasi buruh dan sumberdaya alam di negara dunia ketiga. Hanya saja, tawaran Asghar mengenai masalah ketidakadilan ekonomi ini sangat problematis. Pada masalah bunga bank, ia tidak setuju dengan upaya pendirian perbankan tanpa bunga, karena cara seperti itu hanya artifisial semata dan tidak menyelesaikan persoalan yang sesungguhnya, yaitu system ekonomi kapitalistik yang eksploitatif.

c. Hasan Hanafi dan Kiri Islam
Sementara di sisi lain, meskipun berhaluan ‘kiri’, perlu diketahui bahwa Hassan Hanafi bukan pengikut sayyid Marx, walaupun ia terobesesi untuk menciptakan ‘Das Kapital’ versi Islam. Dalam khazanah pemikiran politik, pilihan Hanafi ini tergolong ke dalam aliran Neo-Marxis. Tapi, Neo-Marxis hanya sekedar istilah. Sebab banyak teori yang dikembangkanya, bahkan tak ada kaitannya dengan Marx sama sekali. Marxis, Neo-Marxis, ‘kiri’ telah menjadi icon, yang punya posisi sendiri di pasar intelektual (intellectual market).
Konsep revolusi yang dianut Hanafi adalah revolusi kebudayaan, pemikiran, dan ideologi. Yakni, bagaimana mengubah tauhid dari akidah pasif menjadi tradisi progresif, alias tidak sekedar patuh pada penguasa despotik, dan oportunis pada penguasa yang zalim. Dalam Gagasanya tentang rekontruksi teologi tradisional, Hasan Hanafi menegaskan perlunya mengubah orientasi perangkat konseptual sistem kepercayaan (teologi) sesuai dengan perubahan konteks politik yang terjadi. Teolog tradisional menurut hanafi lahir dari konteks sejarah ketika inti Islam sistem kepercayaan, yakni transendensi Tuhan, sementara konteks sosial politik saat ini sudah berubah. Islam mengalami kekalahan di berbagai medan pertempuran dalam periode kolonialisasi. Oleh karena itu kerangka konseptual lama harus di ubah karena berasal dari kebudayaan klasik, harus diubah menjadi konseptual baru yang berasal dari kebudayaan modrn.
Selanjutnya, hanafi memandang teologi bukanlah ilmu murni yang hadir dari kehampaan sejarah, melainkan merefleksikan konflik-konflik sosial politik. Oleh karena itu kritik kepada teologi merupakan hal yang sah dan dibenarkan. Menurut hanafi, Teologi bukanlah Ilmu tentang Tuhan (seperti arti secara epistimologi dari kata Theose dan logos) melainkan theology adalah ilmu tentang kata (kalam) Tuhan, Karena Tuhan itu tidak tunduk kepada Ilmu. Tuhan mengungkapkan diri dalam sabdanya yang berupa wahyu. Secara praksis, teologi tradisional menurut hasan hanafi gagal menjadi idiologi yang fugsional bagi kehidupan nyata masyarakat muslim dikarenakan oleh para sikap teolog yang tidak mengaitkan teologi dengan kesadaan murni dan nilai-nilai perbuatan manusia.
Melihat kegagalan teologi tradisional, hanafi mewacanakan rekonstruksi teologi Islam agar teologi Islama benar-benar menjadi Ilmu yang bermanfaat bagi manusia dan umat masa kini. Yaitu dengan melakukan rekonstruksi dan revisi, serta membangun kembali epistimologi lama menju epistimologi yang baru. Tujuan pokok dari rekonstruksi teologi adalah agar menjadikan teologi agama tidak sekedar dogma-dogma yang kosong, melainkan menjelma sebagai ilmu tentang perjuagan sosial, yang menjadikan keimanan-keimanan tradisional memiliki fungsi secara aktua sebagai landasan etnik dan motivasi bagi manusia. Menurutnya, untuk melakukan rekonstruksi teologi sekurang kurangnya dilator belakangi oleh tiga hal: Pertama, kebutuhan akan adanya sebuah idiologi yang jelas di tengah-tengah pertarungan global antara berbagai Idiologi.  Kedua, pentingnya teologi baru ini bukan semata pada sisi teoritisnya, melainkan juga terletak kepada kepentingan praktis untuk secara nyata mewujudkan idiologi sebagai gerakan dalam sejarah, salah satu kepentingan praksis idiologi Islam (dalam teologi) adalah memecahkan kemiskinan dan keterbelakangan di negara-negara muslim. Ketiga, kepentingan teologi yang bersifat praksis yang secara nyata diwujudkan dalam realitas melalui realisasi tauhid dalam Islam.
Menurut hasan Hanafi, Rekonstruksi teologi merupakan salah satu cara yang harus di tempuh jika mengharapkan teologi dapat memberikan sumbangan konkrit bagi kehidupan dan peradaban manusia. Oleh karena itu perlu menjadikan teologi sebagai wacana tentang kemanusiaan, baik secara eksistensia, kognitif, naupun kesejahteraan.
Selanjutnya Hanafi menawarkan dua hal untuk memperoleh kesempurnaan teori ilmu dalam teologi Islam, yaitu analisa bahasa dan analisa realitas[8]. Pokok pemikiranya terletak pada bagaimana Islam dapat teraktualisasikan dalam konteks dan kehidupan yang nyata terutama dapat mentranformasikan umat islam dari keterbelakangan kearah kemajuan. Oleh kerena itu hasan hanafi melakukan kritik terhadap teologi Islam tradisional yang di nilai olehnya telah gagal dalam sisi toritis dan praktis.
Dari sisi teoritis, teologis islam tradisional gagal dalam mendapatkan pembuktian ilmiah dan filososis. Sedangkan dari sisi praksisnya gagal karena hanya menciptakan apatisme dan negativism terhadap perkembangan dan kemajuan zaman sehigga menjadikan umat islam tertinggal jauh. Oleh karena itu hasan hanafi menawarkan rekonstruksi teologi islam agar islam menjadi agama yang tranformatif dan memiliki manfaat praksis bagi peradaban manusia. Hanafi banyak menyerap dan mengonsentrasikan diri pada kajian pemikir Barat pra-modern dan modern. Oleh karena itu, Shimogaki mengkatagorikan Hanafi sebagai seorang modernis-liberal, karena ide-ide liberalisme Barat, demokrasi, rasionalisme dan pencerahan telah banyak mempengaruhinya.
Pemikiran Hanafi sendiri, menurut Isaa J. Boulatta dalam Trends and lssues in Contemporary Arabs Thought bertumpu pada tiga landasan: I) tradisi atau sejarah Islam; 2) metode fenomenologi, dan; 3) analisis sosial Marxian. Dengan demikian dapat dipahami bahwa gagasan semacam Kiri Islam dapat disebut sebagai pengetahuan yang terbentuk atas dasar watak sosial masyarakat (socially contructed) berkelas yang merupakan ciri khas tradisi Marxian. Dalam gagasannya tentang rekonstruksi teologi tradsional, Hanafi menegaskan perlunya mengubah orientasi perangkat konseptual sistem kepercayaan (teologi) sesuai dengan perubahan konteks sosial-poli­tik yang terjadi. Teologi tradisional, kata Hanafi, lahir dalam konteks sejarah ketika inti keislaman sistem kepercayaan, yakni transendensi Tuhan, diserang oleh wakil-wakil dari sekte-sekte dan budaya lama. Teolo­gi itu dimaksudkan untuk mempertahankan doktrin utama dan untuk memelihara kemurniannya. Dialektika berasal dari dialog dan mengandung pengertian saling menolak; hanya merupakan dialektika kata­-kata, bukan dialektika konsep-konsep tentang sifat masyarakat atau tentang sejarah. Demikian, Allahu yuwaffiquna ila sabil al-anbiya’ wa al-mursalin..


[1]   Dhofir Zuhry, Ach, Tersesat di Jalan yang Benar (Jakarta: Kalam Mulia, 2007) h.79 
[2]   Pahlawan Nasional dan pendiri Nahdlatul Ulama (NU), di antara karya monumentalnya adalah: Adab al-Alim wal Muta’allim, al-Tanbihat al-Wajibat, Durar al-Muntatsirah, Qanun Asasi, Risalah Ahlussunnah wa al-Jama’ah, al-Thibyan, dan Nur al-Mubin.
[3]   Ibnu Hisyam, Abd Malik al-Anshari, As-Sirah an-Nabawiyah li Ibn Hisyam, (Beirut: Dar al-Fikr, 1415 H), h.119-122
[4]   Nanat Fatah dan Mulyana, Yahudi versus Islam, Konflik Agama dan Politik (Bandung: Sega Arsy, 2010) h. 243
[5]   Francis Wahono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan, Sejarah, Metode, Praksis dan Isinya, (Yogjakarta: LKiS, cet. II, 2008), hlm. 8-9.
[6] ibid, hlm. x
[7] Ibid, hlm. 47
[8] Hassan hanafi, Kiri Islam, dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam Antara Modernisme dan Posmodernisme, Telaah Kritis atas Pemikiran Hassan Hanafi, terj. Imam Aziz dan Jadul Maula, (Yogjakarta: LKIS, cet. VII 2007), hlm.116

Tidak ada komentar:

Posting Komentar