PMII KOMUNIS

PMII KOMUNIS
Mundur Satu Langkah Adalah suatu bentuk penghianatan

Kamis, 04 Desember 2014

Indonesiaku Tercinta

Malam ini langit cerah menampakkan wajah rembulan yang pasi. Seperti negeri yang ku huni ini, tampak pasi. Bangsa ini bukannya miskin, hanya jiwa penghuninya saja yang kerdil. Negara ini tidaklah buruk, cuma rakyatnya saja yang mabuk. Mabuk akan suatu hal yang dicintai semua setan beserta penghuni jahannam.
Aku tak mengerti akan jalan pikiran mereka. Berlomba-lomba memperebutkan kuasa yang nantinya di hina-hina bangsa sendiri. Bila hanya harta tujuan mereka, kenapa tak rebut saja tambang emas milik Indonesia di Papua sana? Tak ada gunanya menaikkan harga-harga bila kekayaan kita saja di jarah mereka yang tak berhak.
Kenapa semua orang sibuk mengkritisi kebijakan-kebijakan yang sudah jelas untuk membangun negeri. Toh, sang pembuat kebijakan tak bijak mengelola sumber daya bangsanya. Lantas, tujuan adanya pemimpin bangsa, untuk apa? Kesejahteraan rakyat? Think again.
Sejak di bangku Sekolah Dasar aku di ajarkan oleh guruku, bahwa Indonesia adalah Negara demokrasi yang kepemimpinanya “dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat”. Tapi hingga kini, saat aku sudah menjadi mahasiswa semester akhir di sebuah Perguruan Tinggi Swasta, aku juga belum memahami esensi dari demokrasi itu. Entah aku yang bodoh, atau guruku yang gagal memperkenalkan demokrasi negri yang sesungguhnya. Semua pelajaran saat di bangku sekolah, sejarah bangsa, kegigihan pahlawan negeri hingga keuletan rakyat di Negara ini seperti sebuah cerita pengantar tidur bagiku. Cerita yang hanya akan membawa pada sebuah mimpi indah akan negeri subur nan makmur.
Negeri ini memang negeri yang subur. Tapi apa rakyatnya makmur? Bangsa ini bukan bangsa yang miskin. Namun mengapa subsidi untuk masyarakat kecil juga diperkecil? Mungkin benar bila kemudian muncul sebuah kalimat “yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin”. Lagi-lagi, bila rupiah yang mereka cari, kenapa tak eksploitasi tambang intannya saja? Kenapa tak berburu minyak bumi saja? Kenapa memilih menjadi pemimpin bangsa?
Aaahh, pekik jangkrik malam ini seperti serdadu siap tempur. Irama lagu yang mereka mainkan seperti nada genderang perang. Tapi mereka tenang. Hanya aku dan pikirku yang mengelana. Mencari tempat tenang yang bisa kusebut rumah.
Entah, mengapa terbesit akan carut-marut bangsa. Toh, mereka yang disana tak akan bertanya akan pendapatku, rakyat jelata yang hidup dalam kepura-puraan belaka. Entah, sampai kapan derita bangsa mencari makna “Indonesia merdeka” yang hilang bersama keserakahan belaka.
Indonesia, mungkin kau lebih baik terjajah, daripada merdeka namun bangsamu tak tau siapa musuh mereka sebenarnya.
Malang,
BK-04122014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar